Sabtu, 05 Agustus 2017

Sumarsam : Sang Maestro Pelestari Gamelan

Tags

Prof. Dr. Sumarsam

Prof. Dr. Sumarsam lahir di Dander, Bojonegoro, Jawa Timur. Sumarsam telah memainkan gamelan Jawa sejak kecil. Beliau juga seorang Dhalang (Dalang) wayang kulit walaupun bukanlah sebagai profesi utamanya. Beliau mulai mengenyam pendidikan formal gamelan pada tahun 1961 di Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR, sekarang Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) di kota Solo (Surakarta). Beliau lulus pada 1964 dan mulai mengajar, dan pada tahun 1965 mulai kuliah di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang baru dibuka (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta).

Pertunjukan wayang kulit memasuki perang kembang. Waktu tengah malam. Beberapa niyaga kelihatan lelah dan mengantuk. Seorang penabuh saron mengantuk sekali, hingga harus menyandarkan kepalanya pada bilah-bilah instrumen itu. Penabuh memanggil dan menyuruh seorang bocah, yang berada di antara kerumunan penonton, untuk menggantikan peran penabuh saron.

Begitulah Sumarsam menceritakan awal keterlibatannya dengan gamelan lewat buku yang merupakan terjemahan disertasinya, Gamelan: Interaksi dan Perkembangan Musikal di Jawa dalam sebuah seminar di STSI Surakarta (sekarang ISI Surakarta).

"Buku ini bukan hanya satu langkah penting mencari teori dan makna karawitan --yang mulai dari Jaap Kunts, dan melalui Mantle Hood, dan Judith Becker-- tetapi adalah buku pertama yang mengemukakan aspek-aspek dan segi-segi yang memerlukan perhatian yang sebelum ini belum dibahas. Buku ini bukan hanya hasil penulis Jawa-asli yang mampu, tetapi isinya juga melebihi hasil teori-teori yang pernah ada," ungkap Alex Dea, seorang etnomusikologis kelahiran Amerika dalam seminar itu.

Ya, sebagai seorang niyaga, scholar gemelan, guru niyaga, dan akademisi di bidang ini secara lintas negara, jelas secara intuitif Sumarsam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan para pengkaji gamelan yang sudah ada.

Di perguruan tinggi itu, Sumarsam juga menjadi asisten dosen tidak tetap, membantu RL Martopangrawit untuk mengajar praktik gamelan dan mata kuliah Pengetahuan Karawitan untuk mahasiswa tahun pertama. Sumarsam juga terpilih untuk ikut dalam misi kebudayaan ke luar negeri, sampai kemudian mengajar gamelan di Kedutaan Besar RI di Canberra, Australia.

Atas undangan Wesleyan University di Connecticut, Amerika, ia diangkat menjadi visiting artist di universitas itu, mengajar mata kuliah praktik gamelan. Dua tahun berada di tengah-tengah kehidupan intelektual Wesleyan, Sumarsam merasa terdorong melanjutkan studi S2. Tahun 1974, ia masuk sebagai mahasiswa Program S2 Musik di universitas tersebut dan lulus 1976 dengan tesis Inner Melody in Javanese Gamelan.

Sumarsam pun terus mengajar dan menabuh gamelan di Wesleyan, kota-kota lain, dan universitas-universitas lain di Amerika. Tahun 1983, dia masuk program S3 (PhD) di Cornell University dan lulus dengan disertasi Historical Contexts and Theories of Javanese Music. Setelah meraih gelar PhD, di Wesleyan University ia berstatus adjunct professor. Dan kini, Sumarsam tak hanya menjadi dosen biasa di sana karena telah diangkat sebagai Direktur Program S2 dan S3 Musik Dunia pada universitas tersebut. "Selain musik Barat, mereka juga mempelajari musik Indonesia, India, dan Afrika, serta kadang-kadang Jepang, eksperimental, dan jazz," kata Sumarsam.

Beliau juga mengungkapkan, setiap semester tak kurang 50 mahasiswa dari berbagai negara telah belajar gamelan. "Ya, kalau dihitung-hitung, selama tak kurang dari 30 tahun saya mengajarkan gamelan, 1.500 mahasiswa dari berbagai negara telah mengenal dan belajar alat musik ini," katanya.

Lantas, ada kesadaran pada diri Sumarsam untuk mengekspor karawitan? "Secara tidak sengaja mungkin begitu. Namun saya tidak berpikir sejauh itu. Sejarahlah yang menentukan. Mengapa justru gamelan? Jawabannya biasanya saya tekankan pada sejarah. Terhadap gamelan, saya mengekspor pesonanya, tidak sampai pada komoditasnya untuk dibeli. Dulu pada eksotisme, tapi sekarang kan gamelan ada di mana-mana," kata niyaga yang amat suka menabuh kendang dan gender itu.

Sekadar sebagai mediator atau sekaligus sebagai kreator? "Diri seseorang selalu ditantang dan dinegosiasi dengan dunia yang dihadapi. Jadi kalau mengajar di Amerika, tidak bisa mengajar dan belajar cara desa tanpa notasi, harus pakai notasi. Kami dituntut untuk menjawab konteks budaya," katanya.

Penelitiannya tentang sejarah, teori, dan praktik pertunjukan gamelan dan wayang, dan pada tema pertemuan Indonesia-Barat telah menghasilkan terbitan banyak artikel dan dua buku: GAMELAN: INTERAKSI BUDAYA DAN PEMBANGUNAN MUSIK DI JAWA TENGAH (1995) dan GAMELAN JAWAAN DAN BARAT (2013). Penelitian terakhirnya berfokus pada persimpangan antara agama dan seni pertunjukan. Memeriksa wacana transkulturalisme, seni pertunjukan, dan Islam di kalangan orang Jawa, Sumarsam akan melaksanakan penelitian lapangan dan arsip di Indonesia, di bawah naungan dana bantuan NEH dan ACLS (2016-17).

(Sumber: suaramerdeka.com & wesleyan.edu)






EmoticonEmoticon