![]() |
Prof. Dr. Sumarsam |
Prof. Dr. Sumarsam lahir di Dander, Bojonegoro, Jawa Timur. Sumarsam telah memainkan gamelan Jawa sejak kecil. Beliau juga seorang Dhalang (Dalang) wayang kulit walaupun bukanlah sebagai profesi utamanya. Beliau mulai mengenyam pendidikan formal gamelan pada tahun 1961 di Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR, sekarang Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) di kota Solo (Surakarta). Beliau lulus pada 1964 dan mulai mengajar, dan pada tahun 1965 mulai kuliah di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang baru dibuka (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta).
Pertunjukan wayang kulit
memasuki perang kembang. Waktu tengah malam. Beberapa niyaga
kelihatan lelah dan mengantuk. Seorang penabuh saron mengantuk sekali, hingga
harus menyandarkan kepalanya pada bilah-bilah instrumen itu. Penabuh memanggil
dan menyuruh seorang bocah, yang berada di antara kerumunan penonton, untuk
menggantikan peran penabuh saron.
Begitulah Sumarsam menceritakan awal
keterlibatannya dengan gamelan lewat buku yang merupakan terjemahan
disertasinya, Gamelan: Interaksi dan Perkembangan Musikal di Jawa dalam
sebuah seminar di STSI Surakarta (sekarang ISI Surakarta).
"Buku ini bukan hanya satu langkah
penting mencari teori dan makna karawitan --yang mulai dari Jaap Kunts,
dan melalui Mantle Hood, dan Judith Becker-- tetapi
adalah buku pertama yang mengemukakan aspek-aspek dan segi-segi yang memerlukan
perhatian yang sebelum ini belum dibahas. Buku ini bukan hanya hasil penulis
Jawa-asli yang mampu, tetapi isinya juga melebihi hasil teori-teori yang pernah
ada," ungkap Alex Dea, seorang etnomusikologis kelahiran Amerika dalam
seminar itu.
Ya, sebagai seorang niyaga, scholar gemelan,
guru niyaga, dan akademisi di bidang ini secara lintas negara, jelas secara
intuitif Sumarsam memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan para
pengkaji gamelan yang sudah ada.
Di perguruan tinggi itu, Sumarsam juga
menjadi asisten dosen tidak tetap, membantu RL Martopangrawit untuk mengajar
praktik gamelan dan mata kuliah Pengetahuan Karawitan untuk mahasiswa tahun
pertama. Sumarsam juga terpilih untuk ikut dalam misi kebudayaan ke luar
negeri, sampai kemudian mengajar gamelan di Kedutaan Besar RI di Canberra,
Australia.
Atas undangan Wesleyan University di
Connecticut, Amerika, ia diangkat menjadi visiting artist di
universitas itu, mengajar mata kuliah praktik gamelan. Dua tahun berada di
tengah-tengah kehidupan intelektual Wesleyan, Sumarsam merasa terdorong
melanjutkan studi S2. Tahun 1974, ia masuk sebagai mahasiswa Program S2 Musik
di universitas tersebut dan lulus 1976 dengan tesis Inner Melody in
Javanese Gamelan.
Sumarsam pun terus mengajar dan menabuh
gamelan di Wesleyan, kota-kota lain, dan universitas-universitas lain di
Amerika. Tahun 1983, dia masuk program S3 (PhD) di Cornell University dan lulus
dengan disertasi Historical Contexts and Theories of Javanese Music. Setelah
meraih gelar PhD, di Wesleyan University ia berstatus adjunct professor.
Dan kini, Sumarsam tak hanya menjadi dosen biasa di sana karena telah diangkat
sebagai Direktur Program S2 dan S3 Musik Dunia pada universitas tersebut.
"Selain musik Barat, mereka juga mempelajari musik Indonesia, India, dan
Afrika, serta kadang-kadang Jepang, eksperimental, dan jazz," kata
Sumarsam.
Beliau juga mengungkapkan, setiap semester
tak kurang 50 mahasiswa dari berbagai negara telah belajar gamelan. "Ya,
kalau dihitung-hitung, selama tak kurang dari 30 tahun saya mengajarkan
gamelan, 1.500 mahasiswa dari berbagai negara telah mengenal dan belajar alat
musik ini," katanya.
Lantas, ada kesadaran pada diri Sumarsam
untuk mengekspor karawitan? "Secara tidak sengaja mungkin begitu. Namun
saya tidak berpikir sejauh itu. Sejarahlah yang menentukan. Mengapa justru
gamelan? Jawabannya biasanya saya tekankan pada sejarah. Terhadap gamelan, saya
mengekspor pesonanya, tidak sampai pada komoditasnya untuk dibeli. Dulu pada
eksotisme, tapi sekarang kan gamelan ada di mana-mana," kata niyaga yang
amat suka menabuh kendang dan gender itu.
Sekadar sebagai mediator atau sekaligus
sebagai kreator? "Diri seseorang selalu ditantang dan dinegosiasi dengan
dunia yang dihadapi. Jadi kalau mengajar di Amerika, tidak bisa mengajar dan
belajar cara desa tanpa notasi, harus pakai notasi. Kami dituntut untuk
menjawab konteks budaya," katanya.
Penelitiannya tentang sejarah, teori, dan
praktik pertunjukan gamelan dan wayang, dan pada tema pertemuan Indonesia-Barat
telah menghasilkan terbitan banyak artikel dan dua buku: GAMELAN: INTERAKSI
BUDAYA DAN PEMBANGUNAN MUSIK DI JAWA TENGAH (1995) dan GAMELAN JAWAAN DAN BARAT
(2013). Penelitian terakhirnya berfokus pada persimpangan antara agama dan seni
pertunjukan. Memeriksa wacana transkulturalisme, seni pertunjukan, dan Islam di
kalangan orang Jawa, Sumarsam akan melaksanakan penelitian lapangan dan arsip
di Indonesia, di bawah naungan dana bantuan NEH dan ACLS (2016-17).
(Sumber: suaramerdeka.com &
wesleyan.edu)
EmoticonEmoticon