Senin, 09 Oktober 2017

Guruh Gipsy : Band Art Rock Inspiratif Legendaris Indonesia

Tags

Sampul Album GURUH GIPSY

Siapa itu Guruh Gipsy? Bahkan ada yang bertanya juga "Apa itu Guruh Gipsy?". Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang muncul ketika ditanyakan perihal grup musik Guruh Gipsy kepada anak-anak muda di era saat ini. Hal ini wajar dikarenakan media informasi di Indonesia sangat kurang untuk menginformasikan band-band ataupun musisi-musisi Indonesia di era 60an, 70an, 80an, bahkan 90an. 

Guruh Gipsy adalah grup musik kolaborasi antara Guruh Soekarno Putra dan grup rock progressive Gipsy yang merupakan bentukan dari Nasution bersaudara. Sepulang dari lawatan musik di New York Amerika Serikat sekitar tahun 1973-1974, dimana band Gipsy terikat kontrak untuk tampil di Restoran Ramayana milik Pertamina, dua bersaudara Keenan Nasution dan Gauri Nasution mulai banyak berhubungan dengan putra Proklamator Guruh Soekarno Putra. Mereka sebetulnya adalah sahabat lama. Gauri Nasution bahkan teman sekelas saat masih bersekolah di Yayasan Perguruan Cikini di Jakarta Pusat. Mereka bertiga ternyata tengah membahas untuk melakukan rencana proyek musik yang bersifat eksperimental.

Guruh Soekarno Putra sekembali dari kuliah di Belanda dikarenakan tidak akan melanjutkan kuliah disana sedang didera kegelisahan ingin menampilkan sebuah proyek musik yang menampilkan musik tradisional Indonesia yang berkolaborasi atau bersanding dengan musik Barat. "Saya memang terobsesi ingin melakukan semacam percampuran budaya ini. Saya pernah mendengar Debussy memasukkan gamelan atau pun orang Kanada Collin McPhee yang juga bereksperimen dengan gamelan." begitu tutur Guruh Soekarno Putra di kediamannya di Jalan Sriwijaya 26 Jakarta Selatan. Collin McPhee sendiri di tahun 1937 bahkan telah menghasilkan karya "Tabuh-tabuhan" yang menggabungkan perangai musik tradisional Bali dengan musik Klasik Barat.


Menurut Gauri Nasution, Guruh memang memiliki visi berkesenian yang tinggi dimana Guruh menguasai tari, musik, dan juga teater barangkali. Guruh sendiri selama 2 tahun ternyata sempat belajar arkeologi di Universiteit Van Amsterdaam Belanda. Akan tetapi entah mengapa justru semangat berkeseniannya sangat tinggi. Semangat nasionalisme yang tinggi merupakan salah satu pemicunya. Di negeri Belanda, Guruh Soekarno Putra pernah berjumpa dengan Pandji, Direktur Konservatorium Bali yang kebetulan juga tengah menimba ilmu disana pula. Atas ide dan saran Pandji, Guruh Soekarno Putra pun menampilkan kemampuannya menabuh gamelan dan menari. Kemudian selanjutnya kelangsungan komunitas penabuh gamelan Bali yang dibentuk Pandji diserahkan pada Guruh Soekarno Putra. Guruh tentu saja sudah terbiasa dengan kebudayaan Bali disamping darah keturunan Bali dari neneknya, juga ketika masih bersekolah di Perguruan Cikini, Guruh pun mempelajari kesenian Bali secara tekun dan seksama pada I Made Gerindem di Ubud Bali. Begitu pula bagi Keenan Nasution dan Gauri Nasution seni musik Bali bukanlah sesuatu yang asing lagi. Bahkan pada tahun 1966-1968 bersama Sabda Nada mereka pernah berksperimen menggabungkan musik Barat dengan gamelan Bali yang diarahkan oleh I Wayan Suparta. Hal serupa pun mereka lakukan ketika Gipsy main atau tampil di Restoran Ramayana New York Amerika Serikat pada tahun 1973.

Keenan Nasution ternyata sempat bergabung dengan band rock legendaris God Bless, tapi pada tahun 1974 akhirnya mundur dari formasi God Bless. Selepas itu, Keenan Nasution (drum, vokal) mengajak Oding Nasution (gitar), Debby Nasution (bass), Abadi Soesman (synthesizers) dan Roni Harahap (piano, organ/keyboard) untuk membentuk kembali formasi Gipsy yang sudah tidak aktif manggung dengan bereksperimen memadukan musik rock dan gamelan Bali yang dimainkan oleh kelompok yang dipimpin Syaukat Suryasubrata. "Saya masih ingat saat itu kita bereksperimen membawakan "Topographic Oceans" nya kelompok Yes tapi pada beberapa segemen justru dimainkan dengan membaurkan musik gamelan Bali" cerita Abadi Soesman.

Akhirnya dari pertemuan antara Keenan Nasution dan Guruh Soekarno Putera membuahkan kesepakatan untuk membuat sebuah eksperimen musik bertajuk Bali Rock.

Keenan Nasution dan Guruh Soekarno Putera akhirnya memulai proyek musik mereka ini dengan menghubungi Pontjo Sutowo sebagai penyandang dana dimana memang Pontjo selalu bersedia membantu proyek musik idealis semacam ini yang membutuhkan biaya banyak dan siap merugi. Pontjo Sutowo sendiri adalah teman Keenan satu grup di band Sabda Nada sebelum akhirnya berganti nama menjadi band Gipsy. Pada bulan Juli 1975, rekaman awal dimulai dengan diberi nama Guruh Gipsy di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa, sebuah studio rekaman dengan fasilitas kanal 16 track pertama di Indonesia, artinya yang paling canggih saat itu yang berada di kawasan Jalan Hang Tuah Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Proses penggarapan album ini cukup panjang dan baru selesai pada November 1976. Padahal menurut Guruh penggarapan album ini sesungguhnya hanya menggunakan jadwal studio sebanyak 52 hari. Jadi kurun waktu sekitar 16 bulan itu termasuk dihabiskan untuk mencari dana dari para donatur selain yang pertama dari Pontjo Sutowo, latihan dan menulis materi lagu hingga menunggu jadwal studio kosong saat studio Tri Angkasa digunakan oleh pihak lain.

Proyek musik ini memang benar-benar menguras energi dan stamina. Gipsy yang terdiri dari Keenan Nasution, Roni Harahap, Abadi Soesman, Oding Nasution, dan terakhir Chrisye (.alm) yang belakangan menggantikan Debby Nasution pada posisi Bassist tidak tampil sendirian. Sejumlah musisi lainnya mendukung performa mereka di ruang rekam yang sempit dan sesak itu. Ada pianis yang juga ikut membuat arransemen yaitu Trisutji Kamal, kemudian Kelompok Saraswati Bali yang dipimpin I Gusti Kompyang Raka, juga ada paduan suara Rugun Hutauruk dan Bornok Hutauruk serta sederet chamber music yang terdiri atas Fauzan, Suryati Supilin, dan Seno pada biola. Sudarmadi pada cello, Amir Katamsi pada kontra bass, Suparlan pada flute serta Yudianto pada oboe dan clarinet.

Pada tahap awal proses rekaman Guruh Gipsy berlangsung dari Juli 1975 hingga Februari 1976 dimana berhasil menyelesaikan 4 buah komposisi yaitu Geger Gelgel, Barong Gundah, Chopin Larung dan sebuah komposisi yang belum diberi judul tapi kemudian tidak jadi dimasukkan dalam album dikarenakan dianggap kurang layak dimasukkan ke dalam album Guruh Gipsy.

Kemudian proses rekaman Guruh Gipsy tahap kedua berlangsung dari Mei 1976 hingga Juni 1976 yang menghasilkan 3 lagu, yaitu: Djanger 1897 Saka, Indonesia Maharddhika, dan Smaradhana. Pada tahap ketiga ada komposisi yang direkam lagi untuk disempurnakan yaitu Barong Gundah, Chopin Larung, dan Geger Gelgel.

Menurut Alex Kumara sang penata rekaman, bahwa dalam proses perekaman Indonesia Maharddhika dan Geger Gelgel merupakan proses perekaman yang sulit dan rumit penggarapannya secara teknis. Hal ini dikarenakan begitu banyak bunyi-bunyian yang harus direkam serta jumlah pemainnya yang mencapai 25 orang hingga studio yang berukuran 50 meter persegi itu terasa sesak dan pengap. Akan tetapi kendala tersebut tidak membuat satu pendukung pun yang menyerah. Penempatan mic (microphone) tentu harus tepat di tengah sesaknya studio Tri Angkasa. 
Proses take atau dubbing lagu Indonesia Maharrdhika membutuhkan pengisian suara gitar elektrik, keyboard, piano elektrik, dan synthesizers sebanyak 200 kali. Ini adalah sesuatu yang pasti tidak akan kita temui pada proses perekaman di jaman sekarang yang telah didukung teknologi mutakhir.

"Beruntunglah pemusik sekarang yang tertolong oleh kemudahan teknologi. Dulu saat harus mengadopsi banyak bunyi-bunyian keyboard dalam berbagai layer harus melakukan overdub ratusan kali." jelas Abadi Soesman yang terampil memainkan MiniMoog synthesizers. Keenan Nasution dan Chrisye menjadi vokalis utama dalam Guruh Gipsy. Keenan membawakan lagu Indonesia Maharddhika dan Geger Gelgel, sedangkan Chrisye menyanyikan lagu Chopin Larung dan Smaradhana. Sementara untuk lagu Djanger 1897 Saka dinyanyikan secara bergantian oleh Keenan dan Chrisye. Album Guruh Gipsy ini kemudian diedarkan ke masyarakat dan dijual seharga Rp 1.750,- yang juga disertai semacam scrap book yang bermaksud untuk bertutur perihal ikhwal asal-usul lagu dan proses kreatif selama penggarapan album Guruh Gipsy. Tentu dengan harga segitu pada saat itu album Guruh Gipsy tergolong mahal, karena saat itu umumnya kaset album dari musisi Indonesia dijual berkisar harga Rp 600,- sampai Rp 700,-. Sampul album Guruh Gipsy sendiri berlatar warna coklat tua dengan judul : kesepakatan dalam kepekatan, dimana maksud dari album ini merupakan sebuah karya yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di dalam masa yang penuh kepekatan. Ada tulisan menarik dari Guruh yang ada di scrap book album Guruh Gipsy :

"Boleh jadi lagu-lagu tersebut agak berat dicernakan oleh umum. Lalu apa sesungguhnya yang terkandung dalam hati-sanubari kami? Terutama sekali, kami ingin menghasilkan suatu karya sebaik mungkin yang dapat mengajak para pemuda-pemudi kita untuk lebih memperhatikan kesenian dalam negeri. Untuk itu kami tetap teguh pada keyakinan kami dan sengaja melupakan beberapa seg komersiil. Musik ciptaan itulah yang kami harap perlu dikaji".

Daftar Lagu album Guruh Gipsy :
Muka I (Side A)
1. Indonesia Maharddhika (15:43)
2. Chopin Larung (7:19)
3. Barong Gundah (6:57)

Muka II (Side B)
4. Janger 1897 Saka (8:53)
5. Geger Gelgel (12:04)
6. Smaradhana (2:56)

Bonus Track
7. Sekar Ginotan (6:38)


Sumber :
- dennysakrie63.wordpress.com
- id.wikipedia.org
- berbagai sumber yang lain










EmoticonEmoticon