![]() |
Titi Laras Pelog |
Patet/Pathet/Papatet/Patutan adalah semacam mode dalam musik Gregorian sebagai ragam tangga nada dalam karawitan Indonesia, khususnya pada gamelan Jawa, Sunda, dan Bali. Perbedaan pilihan akan membedakan tingkat, sifat, dan suasana musiknya. Dalam pergelaran wayang kulit, penetapan dan pergantian patet besar sekali peranannya. Pergantian patet biasanya meningkat, sejalan dengan meningkatnya jalan ceritera. Pembagian pathet, lazimnya dilakukan mengikuti pola pembagian waktu pada pagelaran wayang kulit purwa, yang menggunakan istilah pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.
Pagelaran wayang kulit purwa, pada masa lampau hanya memakai gamelan laras slendro. Sebab itulah maka penyebutan pembagian waktu pagelaran (pathet) biasanya menggunakan istilah-istilah yang sebenarnya hanya dikenal pada laras slendro, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Pada masa lalu, gamelan laras pelog digunakan pada pagelaran wayang beber dan wayang madya. Meskipun demikian, sesuai perkembangan jaman dan pada masa sekarang, gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog umumnya digunakan pada pagelaran wayang kulit purwa, dengan mayoritas pemakaian tetap pada gamelan laras slendro. Sedangkan gamelan laras pelog, biasanya hanya dipakai sesekali, disesuaikan dengan keperluan dan adegan tertentu. Umumnya, tidak menyertakan pembagian waktu yang menyatakan pathet transisi (pathet lindur dan pathet nyamat). Hal ini, besar kemungkinan karena kedua pathet transisi ini, seringkali tidak digunakan, atau waktu penggunaannya seringkali relatif sangat pendek.
Selain penjelasan tentang pathet seperti telah diuraikan di atas, juga didapatkan penjelasan lain tentang pathet, yang dasar pergantiannya dihubungkan dengan penampakan fenomena visual tertentu. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan fenomena visual ini adalah karakteristik nyala obor penerangan wayang, yang secara tradisional lazim disebut ‘blencong’. Penjelasannya sebagai berikut:
Selanjutnya, kembali ke masalah nada gamelan, berdasar bahasan, pendapat, dan praktik; yang pernah didemonstrasikan oleh sejumlah panji pembuat gamelan, jarak antar nada pada gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog, ternyata berbeda pada setiap pathet tertentu. Karena adanya peristiwa itu, maka jika kita hendak membuat seperangkat gamelan, maka idealnya (jika suara nada gamelan itu dikehendaki bagus untuk seluruh pathet) kita seharusnya membuat enam (6) perangkat gamelan yang berbeda, yaitu:
Apa itu Embat ?
Selain berbagai hal yang berkait-erat dengan persoalan pathet dan susunan nada-nadanya, pada pembuatan gamelan (laras slendro maupun laras pelog), juga dikenal adanya ‘embat ’. Sebagai gambaran umum, embat dikenal dalam dua definisi yang berbeda, yaitu:
Dalam hal yang berhubungan dengan tinggi-rendah wilayah susunan nada gamelan, sesuai dengan peran dan fungsinya, secara umum gamelan bisa dibagi sebagai berikut.
1) Permainan karawitan memakai gamelan Jawa tidak memerlukan alat bantu tambahan untuk menghasilkan alunan nada, karena nada-nada pada gamelan Jawa sudah menghasilkan alunan nada, yang bahkan alunan nadanya disesuaikan dengan fungsi dan pemakaian gamelan tersebut. Sedangkan pada alat musik barat, justru kemampuan ini tidak dimiliki. Karenanya lalu memerlukan alat bantu tambahan untuk menghasilkan alunan nada (lazim disebut ‘tremolo’).
2) Jenis gamelan tertentu, dengan embat dan tinggi-rendah susunan wilayah nada tertentu; selain disesuaikan untuk fungsi dan pemakaian tertentu, juga menghasilkan suatu kesan ‘citra’ (image) suasana tertentu.
3) Permainan karawitan yang menerapkan nada-nada ‘barang miring’ (minor) pada vokalnya (misalnya untuk permainan gaya Pesisir), tetap memakai gamelan laras slendro yang sebenarnya nada dasarnya ‘mayor’. Hal ini, merupakan salah satu keajaiban permainan karawitan Jawa, yang tidak bisa ditemukan pada permainan alat musik barat. Bandingkan dengan permainan alat musik barat. Saat lagunya memakai nada-nada minor, maka permainan instrumen musiknya juga harus dimainkan dalam nada-nada yang juga minor.
4) Permainan rickan gamelan dalam suatu pagelaran karawitan atau wayang, pada dasarnya merupakan hasil pengembangan seketika yang penuh kreatifitas dan inovasi atas susunan notasi gendhing (partitur lagu/gendhing) yang lazim disebut ‘balungan gendhing’ (song backbone). Peristiwa ini, tentu saja sangat dipengaruhi oleh pemahaman, perasaan, kehalusan rasa, mood, dan emosi pemainnya; pada saat memainkan gendhing tersebut. Karenanya, untuk setiap gendhing/lagu yang sama, selalu bisa dimainkan menurut pola permainan yang bisa amat sangat berbeda. Bahkan gendhing yang sama, saat dimainkan pada waktu yang sama, bisa dimainkan dengan berbagai pola garapan yang berbeda. Di khazanah rekaman gendhing-gendhing Jawa, seringkali kita bisa menemukan sejumlah gendhing Jawa yang sama, tetapi dimainkan dalam pola dan gaya yang sangat berbeda. Pada permainan musik barat, hal ini sama sekali tidak ditemukan. Misalnya, lagu yang sudah diaransir dalam pola tertentu, saat dimainkan di mana pun, oleh pemusik siapa pun, akan menghasilkan suasana dan lagu yang benar-benar sama. Sedangkan pada karawitan Jawa, siapa yang memainkan, kapan dia memainkannya, bagaimana perasaan dan emosinya saat memainkan, serta suasana sekelilingnya saat dia memainkan; sangat memegang peran atas hasil permainan yang dihasilkan.
5) Banyak orang berpandangan, seakan-akan permainan karawitan Jawa setara dengan musik klasik. Padahal kenyataannya, permainan nada-nada gamelan Jawa, sebenarnya lebih mirip dengan pola permainan musik jazz, karena memiliki kesamaan, yaitu: sangat mengexploitasi kreatifitas, emosi, kemampuan individual pemainnya, bisa sangat inovatif, dan bahkan juga mengenal adanya ‘jam session’.Bandingkan dengan pola permainan musik klasik, yang serba teratur, baku, tidak menghentak-hentak, sistematis, sama sekali tidak memungkinkan terjadinya perubahan seketika, dan umumnya juga tidak mengenal adanya ‘jam session’.
6) Pagelaran wayang kulit purwa, pada masa lampau hanya memakai gamelan laras slendro. Sebab itulah maka penyebutan pembagian waktu pagelaran (pathet) biasanya menggunakan istilah-istilah yang sebenarnya hanya dikenal pada laras slendro, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Pada masa lalu, gamelan laras pelog digunakan pada pagelaran wayang beber dan wayang madya. Meskipun demikian, sesuai perkembangan jaman dan pada masa sekarang, gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog umumnya digunakan pada pagelaran wayang kulit purwa, dengan mayoritas pemakaian tetap pada gamelan laras slendro. Sedangkan gamelan laras pelog, biasanya hanya dipakai sesekali, disesuaikan dengan keperluan dan adegan tertentu.
7) Pemakaian lampu penerangan listrik, secara nyata sebenarnya menghilangkan salah unsur penting dalam Pagelaran wayang kulit purwa, yaitu gerak bayang-bayang wayang yang memberikan ‘kesan hidup’. Meskipun demikian, penggantian lampu obor blencong dengan lampu pijar, sebenarnya memberikan peluang bagi para enjiner atau disainer, untuk merancang dan membuat suatu sistem penerangan (lampu) jenis baru bagi pagelaran wayang kulit purwa yang bersifat lebih inovatif, yang dapat menghasilkan karakter nyala yang setara dengan cahaya yang dihasilkan lampu obor blencong yang luar biasa itu, dengan intensitas cahaya yang lebih terang (lebih kuat).
- Pada awal pagelaran wayang kulit purwa yang dilakukan pada malam hari, yakni pada saat pathet nem, nyala lampu obor blencong lazimnya akan berkarakter menyala tenang, dengan gerak nyala api dan kedipan yang sangat lambat.
- Pada saat nyala lampu obor blencong berubah menjadi lebih tenang, dan nyala apinya cenderung diam tidak bergerak (biasanya terjadi pada tengah malam), fenomena ini dipakai sebagai pertanda bahwa pagelaran sudah waktunya dipindahkan ke pathet sanga.
- Pada saat nyala lampu obor blencong berubah menjadi berkedip-kedip cepat (biasanya nyala api lampu obor blencong bergerak-gerak cepat ke berbagai arah), fenomena ini dipakai sebagai pertanda bahwa pagelaran sudah waktunya dipindahkan ke pathet manyura.
Selanjutnya, kembali ke masalah nada gamelan, berdasar bahasan, pendapat, dan praktik; yang pernah didemonstrasikan oleh sejumlah panji pembuat gamelan, jarak antar nada pada gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog, ternyata berbeda pada setiap pathet tertentu. Karena adanya peristiwa itu, maka jika kita hendak membuat seperangkat gamelan, maka idealnya (jika suara nada gamelan itu dikehendaki bagus untuk seluruh pathet) kita seharusnya membuat enam (6) perangkat gamelan yang berbeda, yaitu:
- Seperangkat gamelan laras slendro, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan karawitan pada saat pathet nem.
- Seperangkat gamelan laras slendro, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan karawitan pada saat pathet sanga.
- Seperangkat gamelan laras slendro, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan karawitan pada saat pathet manyura.
- Seperangkat gamelan laras pelog, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan karawitan pada saat pathet lima.
- Seperangkat gamelan laras pelog, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan karawitan pada saat pathet nem.
- Seperangkat gamelan laras pelog, dengan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan karawitan pada saat pathet barang.
- Perangkat gamelan laras slendro, umumnya dirancang mempunyai susunan nada-nada yang indah dan mempertimbangkan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan gendhing-gendhing (karawitan) yang menggunakan laras slendro pathet manyura; dengan mengorbankan susunan nada-nada pada pathet sanga. Mengapa pathet nem ‘tidak merasa dikorbankan’? Hal ini, disebabkan permainan gendhing-gendhing (karawitan) pada pathet nem, umumnya bisa mengadopsi atau memakai gendhing-gendhing pathet manyura. Termasuk permainan Gendhing Talu Wayangan, yang lazimnya merupakan gendhing laras slendro pathet manyura.
- Perangkat gamelan laras pelog, umumnya dirancang mempunyai susunan nada-nada yang indah dan mempertimbangkan jarak antar nada yang sesuai untuk permainan gendhing-gendhing (karawitan) yang memakai laras pelog pathet lima; dengan mengorbankan susunan nada-nada gamelan pada pathet nem dan pathet barang. Atau, gamelan laras pelog susunan nada-nadanya dibuat sedemikian rupa, sehingga indah dan mempertimbangkan jarak antar nada yang sesuai, jika dimainkan pada pathet barang, sementara untuk pathet lima dan pathet nem dikorbankan.
Apa itu Embat ?
Selain berbagai hal yang berkait-erat dengan persoalan pathet dan susunan nada-nadanya, pada pembuatan gamelan (laras slendro maupun laras pelog), juga dikenal adanya ‘embat ’. Sebagai gambaran umum, embat dikenal dalam dua definisi yang berbeda, yaitu:
- Embat dalam pengertian tinggi-rendahnya susunan wilayah nada gamelan.
- Embat dalam pengertian deviasi frekuensi suatu nada yang sama dan/atau nada yang sama tetapi berbeda oktaf.
- Embat andhap, yaitu susunan wilayah nada yang relatif rendah.
- Embat madya, yaitu susunan wilayah nada yang relatif agak tinggi.
- Embat inggil, yaitu susunan wilayah nada yang relatif tinggi.
Dalam hal yang berhubungan dengan tinggi-rendah wilayah susunan nada gamelan, sesuai dengan peran dan fungsinya, secara umum gamelan bisa dibagi sebagai berikut.
- Gamelan yang dipakai sebagai pengiring upacara (di keraton-keraton Jawa), lazim disebut ‘gamelan pakurmatan’, umumnya menggunakan wilayah susunan nada yang relatif rendah (embat andhap). Hal ini, dimaksudkan untuk menghasilkan kesan agung. Pola permainannya karawitan-nya, lazimnya juga dilaksanakan dalam kecepatan yang relatif sangat lambat, tetapi harus menghasilkan suara yang keras. Karenanya, lalu diperlukan ukuran fisik bilah-bilah rickangamelan yang berukuran tebal, besar, dan relatif sangat panjang. Hal ini, dimaksudkan supaya dihasilkan amplitudo getaran yang besar dan tidak segera hilang jika bilah tersebut ditabuh/dibunyikan dalam kecepatan yang sangat lambat.
- Gamelan yang dipakai sebagai pengiring ‘beksan’ (tarian), umumnya mengunakan wilayah susunan nada yang relatif agak rendah (embat madya). Pola permainannya karawitan-nya, lazimnya dilaksanakan dalam kecepatan yang relatif beragam, tetapi tidak sampai mencapai kecepatan sangat tinggi (jika dilakukan juga, akan mempersulit penari). Karenanya, lalu diperlukan ukuran fisik bilah-bilah rickangamelan yang berukuran relatif agak tebal, agak besar, dan tidak terlalu panjang. Hal ini, dimaksudkan supaya dihasilkan amplitudo getaran yang besar, tetapi tidak segera hilang jika bilah tersebut ditabuh/dibunyikan dalam kecepatan yang relatif agak lambat.
- Gamelan yang dipakai sebagai pengiring pagelaran wayang kulit purwa atau wayang orang, umumnya menggunakan susunan nada yang relatif tinggi (embat inggil). Pola permainan karawitan wyaangan, lazimnya dilaksanakan dalam kecepatan yang relatif cepat sampai sangat cepat. Dan hanya sesekali, menggunakan irama yang sangat lambat. Misalnya, saat dilakukan ‘sirepan’. Karenanya, lalu diperlukan ukuran fisik bilah-bilah rickangamelan yang berukuran tidak terlampau tebal, relatif kecil, dan relatif sangat pendek. Hal ini, dimaksudkan supaya dihasilkan amplitudo getaran yang tidak terlampau besar dan segera hilang jika bilah tersebut ditabuh/dibunyikan dalam kecepatan yang sangat cepat.
- Embat ‘mucuk bung’, adalah deviasi frekuensi pada nada yang menghasilkan frekuensi pelayangan yang relatif kecil, sehingga alunan nada yang terjadi terdengar rapat atau sangat cepat. Perbedaan frekuensi nada mengarah ke atas (ke arah frekuensi yang lebih tinggi) dengan besaran deviasi cukup besar. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama, sebesar 100 Hertz, sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 204 Hertz (kelipatan 2 ditambah 4 Hertz). Jenis embat ini, biasanya diterapkan pada gamelan yang dipakai sebagai pengiring pagelaran wayang, khususnya pagelaran wayang kulit purwa. Pagelaran wayang kulit purwa, umumnya menggunakan wilayah nada yang relatif tinggi dan menerapkan embat mucuk bung, karena sangat sesuai untuk melakukan ‘kombangan’ dan ‘sulukan’ (nyanyian/tembang dhalang). Gabungan antara embat mucuk bung dengan susunan wilayah nada yang relatif tinggi, akan menghasilkan suasana yang semarak dan gegap gempita.
- Embat ‘sundari’, adalah devisai frekuensi pada nada yang menghasilkan frekuensi pelayangan yang relatif agak besar, sehingga alunan nada yang dihasilkan terdengar agak lambat. Perbedaan frekuensi nada mengarah ke atas (ke arah frekuensi yang lebih tinggi) dengan besaran deviasi tidak terlampau besar. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama, sebesar 100 Hertz, sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 202 Hertz (kelipatan 2 ditambah 2 Hertz). Jenis embat ini, biasanya diterapkan pada gamelan yang dipakai sebagai pengiring pagelaran umum, termasuk ‘klenengan’ (konser karawitan). Pagelaran semacam ini, umumnya menggunakan wilayah nada yang relatif tidak terlampau tinggi, karena sangat sesuai untuk melakukan ‘tembangan’ (nyanyian). Gabungan antara embat sundari dengan susunan wilayah nada yang relatif agak tinggi, akan menghasilkan suasana yang semarak dan menyenangkan.
- Embat ‘laras-ati’, adalah deviasi frekuensi pada nada yang menghasilkan frekuensi pelayangan yang relatif besar, sehingga alunan nada yang dihasilkan terdengar lambat. Perbedaan frekuensi nada mengarah ke bawah (ke arah frekuensi yang lebih rendah) dengan besaran deviasi tidak terlampau besar. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama, sebesar 100 Hertz, sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 198 Hertz (kelipatan 2 dikurangi 2 Hertz). Jenis embat ini, biasanya diterapkan pada gamelan yang dipakai sebagai pengiring pagelaran ‘beksan’ (tarian). Pagelaran semacam ini, umumnya menggunakan wilayah nada yang relatif tidak terlampau tinggi, karena sangat sesuai untuk melakukan ‘tembangan’ (nyanyian). Gabungan antara embat laras-ati dengan susunan wilayah nada yang relatif agak rendah, akan menghasilkan suasana dan kesan yang lebih tenang dan anggun.
- Embat ‘lugu’ atau ‘embat polos’, kadang-kadang juga disebut 'embat pleng'; adalah frekuensi nada gamelan yang tidak mempunyai deviasi sama sekali (zero beat). Perbedaan frekuensi antara nada 1 pada oktaf pertama dan nada 1 pada oktaf kedua merupakan kelipatan langsung. Misalnya, nada 1 pada oktaf pertama, sebesar 100 Hertz, sedangkan nada 1 pada oktaf kedua, sebesar 200 Hertz (kelipatan 2 tanpa penambahan atau pengurangan). Embat seperti ini, biasanya dihasilkan pada saat pertama kali gamelan dihasilkan, atau saat penalaan awal dilakukan; sebelum dilakukan penerapan embat tertentu.
1) Permainan karawitan memakai gamelan Jawa tidak memerlukan alat bantu tambahan untuk menghasilkan alunan nada, karena nada-nada pada gamelan Jawa sudah menghasilkan alunan nada, yang bahkan alunan nadanya disesuaikan dengan fungsi dan pemakaian gamelan tersebut. Sedangkan pada alat musik barat, justru kemampuan ini tidak dimiliki. Karenanya lalu memerlukan alat bantu tambahan untuk menghasilkan alunan nada (lazim disebut ‘tremolo’).
2) Jenis gamelan tertentu, dengan embat dan tinggi-rendah susunan wilayah nada tertentu; selain disesuaikan untuk fungsi dan pemakaian tertentu, juga menghasilkan suatu kesan ‘citra’ (image) suasana tertentu.
3) Permainan karawitan yang menerapkan nada-nada ‘barang miring’ (minor) pada vokalnya (misalnya untuk permainan gaya Pesisir), tetap memakai gamelan laras slendro yang sebenarnya nada dasarnya ‘mayor’. Hal ini, merupakan salah satu keajaiban permainan karawitan Jawa, yang tidak bisa ditemukan pada permainan alat musik barat. Bandingkan dengan permainan alat musik barat. Saat lagunya memakai nada-nada minor, maka permainan instrumen musiknya juga harus dimainkan dalam nada-nada yang juga minor.
4) Permainan rickan gamelan dalam suatu pagelaran karawitan atau wayang, pada dasarnya merupakan hasil pengembangan seketika yang penuh kreatifitas dan inovasi atas susunan notasi gendhing (partitur lagu/gendhing) yang lazim disebut ‘balungan gendhing’ (song backbone). Peristiwa ini, tentu saja sangat dipengaruhi oleh pemahaman, perasaan, kehalusan rasa, mood, dan emosi pemainnya; pada saat memainkan gendhing tersebut. Karenanya, untuk setiap gendhing/lagu yang sama, selalu bisa dimainkan menurut pola permainan yang bisa amat sangat berbeda. Bahkan gendhing yang sama, saat dimainkan pada waktu yang sama, bisa dimainkan dengan berbagai pola garapan yang berbeda. Di khazanah rekaman gendhing-gendhing Jawa, seringkali kita bisa menemukan sejumlah gendhing Jawa yang sama, tetapi dimainkan dalam pola dan gaya yang sangat berbeda. Pada permainan musik barat, hal ini sama sekali tidak ditemukan. Misalnya, lagu yang sudah diaransir dalam pola tertentu, saat dimainkan di mana pun, oleh pemusik siapa pun, akan menghasilkan suasana dan lagu yang benar-benar sama. Sedangkan pada karawitan Jawa, siapa yang memainkan, kapan dia memainkannya, bagaimana perasaan dan emosinya saat memainkan, serta suasana sekelilingnya saat dia memainkan; sangat memegang peran atas hasil permainan yang dihasilkan.
5) Banyak orang berpandangan, seakan-akan permainan karawitan Jawa setara dengan musik klasik. Padahal kenyataannya, permainan nada-nada gamelan Jawa, sebenarnya lebih mirip dengan pola permainan musik jazz, karena memiliki kesamaan, yaitu: sangat mengexploitasi kreatifitas, emosi, kemampuan individual pemainnya, bisa sangat inovatif, dan bahkan juga mengenal adanya ‘jam session’.Bandingkan dengan pola permainan musik klasik, yang serba teratur, baku, tidak menghentak-hentak, sistematis, sama sekali tidak memungkinkan terjadinya perubahan seketika, dan umumnya juga tidak mengenal adanya ‘jam session’.
6) Pagelaran wayang kulit purwa, pada masa lampau hanya memakai gamelan laras slendro. Sebab itulah maka penyebutan pembagian waktu pagelaran (pathet) biasanya menggunakan istilah-istilah yang sebenarnya hanya dikenal pada laras slendro, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Pada masa lalu, gamelan laras pelog digunakan pada pagelaran wayang beber dan wayang madya. Meskipun demikian, sesuai perkembangan jaman dan pada masa sekarang, gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog umumnya digunakan pada pagelaran wayang kulit purwa, dengan mayoritas pemakaian tetap pada gamelan laras slendro. Sedangkan gamelan laras pelog, biasanya hanya dipakai sesekali, disesuaikan dengan keperluan dan adegan tertentu.
7) Pemakaian lampu penerangan listrik, secara nyata sebenarnya menghilangkan salah unsur penting dalam Pagelaran wayang kulit purwa, yaitu gerak bayang-bayang wayang yang memberikan ‘kesan hidup’. Meskipun demikian, penggantian lampu obor blencong dengan lampu pijar, sebenarnya memberikan peluang bagi para enjiner atau disainer, untuk merancang dan membuat suatu sistem penerangan (lampu) jenis baru bagi pagelaran wayang kulit purwa yang bersifat lebih inovatif, yang dapat menghasilkan karakter nyala yang setara dengan cahaya yang dihasilkan lampu obor blencong yang luar biasa itu, dengan intensitas cahaya yang lebih terang (lebih kuat).
Sumber:
- M. Soeharto, Kamus Musik. Grasindo.
- Bram Palgunadi, Nada Gamelan Jawa yang Ajaib, facebook.com/notes/
- M. Soeharto, Kamus Musik. Grasindo.
- Bram Palgunadi, Nada Gamelan Jawa yang Ajaib, facebook.com/notes/
EmoticonEmoticon